KELANGKAAN BBM DALAM KERANGKA INSTITUSI INFORMAL

Pandangan Para Ahli tentang Institusi
Sebagaian masyarakat lebih memahami institusi sebagai kelembagaan yang bersifat formal. Begitu juga dengan studi tentang institusi lebih diarahkan pada institusi formal. Padahal institusi informal banyak mempengaruhi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Beberapa ahli menjelaskan bahwa institusi informal dipahami sebagai agama, kekerabatan, masyarakat, dan berbagai organisasi kemasyarakatan yang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa institusi informal (norma-norma) adalah self enforcing institutions, yang sering terjadi dalam suatu masyarakat yang memiliki hubungan bersifat saling menguntungkan maupun tidak antara satu dengan yang lain.
Terdapat dua kubu pemahaman mendasar dalam mengartikan institusi. Pandangan pertama melihat institusi informal dari pandangan funsional atau problem-solving role. Dalam pandangan ini munculnya institusi informal dianggap sebagai solusi dari berbagai persoalan yang terjadi dalam interaksi sosial dan aturan-aturan informal dianggap dapat meningkatkan efisiensi atau kinerja dari institusi yang kompleks. Sedangakan perspektif ke dua melihat institusi informal bersifat disfunsional atau problem-creating (pencipta masalah). Paradigma ini dipahami sebagai clientalism, korupsi, patrimonialism, dan klan politik yang dapat menganggu mekanisme kerja pasar, negara, pemerintahan demokratis, dan berbagai institusi formal yang lain.
Instititusi Informal sebagai Problem Creating
Munculnya pedagang pengecer BBM merupakan gejala sosial yang muncul dari pembentukan sebuah institusi informal. Institusi informal ini lebih bersifat kompetitif dan eksis dalam situasi di mana institusi formal tidak bekerja secara efektif dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai para aktor juga tidak sejalan dengan institusi formal tersebut. Pertamina sebagai agen pemerintah untuk mendistribusikan BBM tidak mampu untuk mengatasi gejolak permintaan pasar.
Terhambatnya laju distribusi BBM memunculkan para spekulan yang membeli BBM dalam kemasan jerigen. Pengelola SPBU tidak mampu mengatasi permasalahan ini karena ada tekanan dari pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak itulah yang membentuk institusi informal yang marak dilakukan dibeberapa Kabupaten seperti Lampung Barat, Way kanan, Lampung Utara, Tulang Bawang dan Lampung Tengah.
Ada motif mutualisme antara pengelola SPBU dengan para pengecer. Bisa juga ada kekuatan lain yang memaksa pengelola SPBU untuk menjual pada para pengecer seperti premanisme baik dari institusi formal maupun institusi informal. Oleh karena itu, institusi informal yang dibentuk oleh pedagang pengecer BBM maupun premanisme yang melindunginya disebut sebagai institusi informal yang menciptakan masalah.
Substitutive Institution
Seperti yang telah dijelaskan di atas, tidak efektifnya lembaga formal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat memunculkan institusi informal. Efektivitas lembaga formal yang relevan diukur dari luas aturan dan prosedur yang ada di atas kertas, dijalankan dan dipraktekkan secara penuh namun kenyataannya diabaikan. Kegagalan pemerintah yang tidak efisien didefinisikan sebagai penyediaan layanan pemerintah, yang mungkin muncul dalam berbagai derajat, memotivasi masyarakat untuk mengadopsi berbagai strategi dalam menyikapinya.
Pola ini disebut sebagai substitutive yang dapat juga terjadi karena keterbatasan kemampuan pemerintah sehingga muncul suatu saluran dari warga untuk mengimprovisasi dalam membantu memberikan pelayanan bagi publik. Munculnya pedagang pengecer BBM diartikan sebagai lembaga informal pengganti lembaga formal yang tidak bisa mengakomodir permasalahan-permasalahan warga
Penguatan Kelembagaan
Maraknya pedagang pengecer BBM bukan merupakan suatu ancaman bila saja mendapat pembinaan yang tepat dari pemerintah. Dengan kata lain institusi informal ini tidak selamanya menjadi kompetitip dari institusi formal. Melihat dari sebaran jumlah SPBU dengan jumlah wilayah yang ada sehingga memerlukan pedagang pengecer guna menjangkau ketersediaan BBM hingga pelosok. Contoh saja daerah Ulu Belu Tanggamus, Suoh lampung Barat ataupun Tanjung Raja Lampung Utara dan banyak daerah pedalaman lainnya jika hanya mengandalkan pasokan dari SPBU milik pertamina maka sudah dipastikan BBM tidak akan dapat dinikmati oleh mereka yang tinggal di pedalaman.
Para pedagang pengecer di daerah tersebut dapat diklasifikasikan sebagai lembaga informal yang muncul untuk membantu lembaga formal (Complementary). Antara lembaga formal dan informal saling mengisi kelemahan dan kekurangan yang dimiliki demi efektivitas kedua lembaga.
Tentunya pemerintah harus lebih jeli dalam mengatur keberadaan para pedagang pengecer tersebut. Pola pembatasan terhadap penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi perlu ditinjau kembali. Mengingat harga BBM non subsidi yang tinggi akan semakin mendorong minat warga untuk tetap menggunakan BBM bersubsidi. Salah satu caranya dengan membeli BBM bersubsidi melalui pedagang pengecer. Paling sedikit terdapat tiga institusi informal yang diuntungkan, yaitu para pedagang, para “preman” dan konsumen.
Pemerintah juga wajib mengatur penjualan BBM eceran di sekitar lokasi SPBU. Di banyak SPBU yang ada di Provinsi Lampung bertuliskan BBM habis namun di depan SPBU tersebut menjamur para pedagang eceran. Para pedagang eceran juga harus didata untuk melindungi pedagang itu sendiri juga menjaga stabilitas di mayarakat. Jika terjadi kelangkaan BBM maka dapat mengantisipasi para pedagang dadakan yang mengambil keuntungan sesaat bahkan sampai melakukan penimbunan. Para pengecer diberikan semacam identitas dan memberlakukan harga eceran tertinggi.
http://www.radarlampung.co.id/

Comments

Popular posts from this blog

GUBERNUR TINJAU OPERASI PASAR MINYAK GORENG DI LAMPUNG TIMUR

GILIRAN SRI JAYA DAN LEPANG TENGAH

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA Nomor : 35 TAHUN 2003 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH KEHUTANAN DAN ANGKA KREDITNYA