JEJAK PARTAI POLITIK PENGUASA PARLEMEN
Apa yang dipertontonkan dua
partai politik belakangan ini sungguh menyita perhatian publik. Amat miris
melihat drama politik yang diperankan oleh para anggotanya. Padahal jika
melihat kembali sejarah dua partai poltiki tersebut merupakan partai yang telah
menunjukkan eksistensinya selama era pemerintahan orde baru yang saat itu konsisten dengan tiga partai. Bahkan partai
yang terakhir berpolemik itu adalah partai penguasa orde baru yang selalu
menelurkan pemimpin-pemimpin kharismatik dari kalangan militer maupun sipil professional.
Berdasarkan catatan sejarah
bahwa Partai Golkar didirikan sebagai antiklimaks dari perseteruan para
kontestan Partai Politik yang berbasis tradisional. Golkar mengawali kontestasi
Pemilu pada tahun 1971 dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber
GOLKAR) bermodalkan kekuatan yang
mungkin amat disangsikan oleh Partai Politik lainnya. Padahal Golkar merupakan
sarana “penampung” tokoh-tokoh politik yang pindah haluan dari partai yang
semula didukungnya. Beberapa pihak meragukan kemampuan komunikasi kader Golkar
hingga ke masyarakat bawah. Namun Golkar berhasil meraup kemenangan dengan
62,79% dari total perolehan suara. Akhirnya pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber
Golkar berubah menjadi Golongan Karya.
Walaupun Golkar ikut serta
dalam panggung politik namun Golkar pada saat itu menyatakan diri bukan Partai
Politik. Dengan kondisi itu maka militer dan para birokrat aktif bisa masuk
dalam keanggotaan dan pengurus di tubuh Golkar. Dengan cara-cara tersebutlah
yang diyakini sebagai mesin politik untuk mendapatkan suara signifikan pada
even pemilu. Tercatat Golkar memenangi pemilu pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992
dan 1997.
Pada era reformasi, Golkar dihina diberbagai daerah sebagai mesin politik
orde baru. Apalagi dengan lengsernya Presiden Soeharto yang merupakan penasehat
Golkar. Golkar dituntut untuk dibubarkan karena rezim yang dianggap otoriter
pada saat itu.
Salah satu kader terbaik
Golkar yaitu Akbar Tandjung terpilih menjadi Ketua Umum diera reformasi
menggantikan Harmoko. Golkar pun berubah wujud menjadi Partai Golongan Karya
dengan doktrin perubahan dari Golkar sebelumnya. Partai golkar memulai debutnya
diera reformasi pada pemilu tahun 1999 dengan sistem multi partai. Hasilnya,
Partai Golkar berada diposisi kedua setelah PDIP. Namun ditahun 2004, Partai
Golkar kembali menjadi pemenang Pemilu.
Dengan kondisi sekarang ini
banyak spekulasi terhadap nasib kedua partai yang terpecah tersebut. Apalagi
kedua partai tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendominasi kursi
parlemen namun gagal menghantarkan kadernya menuju kursi keprsidenan. Campur
tangan pemerintah pun semerbak memberikan aroma negatif untuk memarjinalkan
KMP. Di samping itu, desakan dan rongrongan dari internal partai merupakan
permasalahan krusial yang tidak dapat diabaikan. Maklum saja dengan posisi
sebagai oposisi pemerintahan mengharuskan para anggota parlemen dan partainya “puasa”
dari dunia kekuasaan.
Campur tangan pemerintah dalam
perpecahan kedua partai sebenarnya bukan isapan jempol. Diawali dengan PPP yang
terpecah jelang muktamar dan setelah jalan islahpun buntu. PPP versi
Romahurmuzy menggelar muktamar lebih dahulu di Kota Surabaya. Dengan muktamar
tersebut, Romahurmuzy diangkat sebagai ketua umum PPP. Kepengurusan ini
bergerak cepat dengan mendaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM. Menkumham
merespon dengan mengesahkan kepengurusan tersebut. Kondisi ini membuat kubu
Djan Faridz selaku Ketua Umum menggantikan Surya Dharma Ali kalap. Proses
persidangan atas gugatan kubu Djan Faridz masih berlangsung hingga saat ini.
Sebagaimana diketahui upaya
pengkerdilan KMP sedikit transparan pasca PPP terbelah. PPP kubu Romahurmuzy
merupakan pendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Jika Partai Golkar
benar-benar mengalami nasib serupa dengan PPP maka semakin nyata ada
pihak-pihak yang ingin KMP hancur. Upaya tersebut sah-sah saja dalam sistem Presidesil
dan multi partai. Jika Pemerintahan solid dengan dukungan mayoritas parlemen
maka roda pembangunan akan mudah dijalani namun di sisi negatifnya kurang
adanya kekuatan kontrol terhadap pemerintahan.
Partai Golkar yang amat
disegani selama ini tidak lebih dari Partai Kacangan yang baru akan bangkit.
Tidak terlihat seperti Partai yang kaya pengalaman dan kaya kader. Jika semua
dibangun dengan mengedepanan kekuasaan daripada pendidikan politik maka
siap-siap Partai Golkar mengalami nasib yang sama seperti PPP. Tentunya akan ada
dua munas, dua kepengurusan, dua tuntutan sebagai konsekuaensi dari
permasalahan tersebut. Perebutan kursi ketua umum oleh incumbent dan pesaing lainnya
bak anak kecil memperebutkan mainan. Ada pihak yang takut kalah dan ada pihak
yang tak mau mengalah.
Comments
Post a Comment