BIROKRASI oh BIROKRASI


Istilah birokrasi telah dikenal sejak abad 19 oleh Max Weber yang mengibaratkan birokrasi sebagai suatu mesin sehingga pejabat dalam lingkup birokrasi tersebut secara personal bebas. Lalu ada konsep birokrasi dari Hegel dan Karl Marx. Hegel berpendapat bahwa birokrasi adalah jembatan yang menghubungkan antara Negara dan masyarakat sedangkan Karl Marx (Marxis) berbeda dengan konsep Hegel, Marxis tidak mengenal istilah kepentingan umum yang dianut oleh Negara melainkan kepentingan partikular yang mendominasi kepentingan partikular lainnya......
(Thoha:2002)
Birokrasi tidak hanya dikenal di bidang pemerintahan saja, dalam dunia enterprise juga diperkenalkan istilah birokrasi namun dalam konteks yang berbeda. Bila dalam administrasi publik menyebutkan istilah birokrasi sebagai sistem untuk mengatur organisasi besar agar mencapai tingkat rasionalitas tertentu (Thoha:2002), sedangkan dalam dunia bisnis dengan merujuk beberapa literatur, istilah birokrasi diarahkan sebagai tingkat efisiensi pemakaian sumber daya tertentu dengan hasil yang maksimal. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah birokrasi dalam bidang publik yang masih relevankah untuk tetap digunakan karena telah banyak nada sumbang tertuju pada birokrasi pemerintahan.
Birokrasi di Indonesia sejak masa orde baru sampai dengan reformasi masih tetap identik dengan inefisiensi dan berbelit-belit. Ada istilah “Bila sesuatu sulit kenapa harus dipermudah”. Tudingan tersebut tampaknya tidak terlalu berlebihan dengan kondisi riil. Dengan birokrasi yang kita anut sekarang ini sangat rentan terhadap praktik KKN. Sebagai contoh, dalam pemberian pelayanan KTP yang telah menggunakan metode komputerisasi, bisa dilakasanakan dalam beberapa jam saja. Namun dengan berbagai alasan, sambil menunggu kebijaksanaan dari masyarakat untuk memberikan imbalan diluar biaya administrasi untuk mempercepat proses pembuatan. Sehingga jangan heran bila praktik-praktik KKN sulit diberantas bila dalam hal-hal kecilpun telah terjadi proses yang demikian.
Sistem administrasi di Indonesia masih kental dengan budaya tradisional. Ikatan keluarga pada jabatan-jabatan strategis, sipil maupun militer. Lalu ada ikatan alumni sekolah-sekolah yang nyata dapat terlihat di kalangan TNI maupun Polri. Bila Kapolri dari lulusan tahun tertentu, maka jabatan strategis yang memungkinkan akan dipegang oleh angkatan tersebut. Dengan demikian akan timbul jaringan baik dalam angkatan tahun kelulusan maupun dalam kekerabatan.
Beberapa pandangan yang salah kaprah terhadap birokrasi menurut M. Ma’sud Said (2007) yaitu :
1. Birokrasi sebangun dengan korupsi;
2. Birokrasi sebangun dengan inefisiensi dan inkompetensi;
3. Birokrasi sebangun dengan ukuran;
4. Birokrasi sebangun dengan rasionalitas dan administrasi yang kaku;
5. Birokrasi sebangun dengan hal-hal tertentu.
Bila birorasidi Indonesia sudah tidak relevan dengan situasi yang ada, lalu sistem apakah yang akan dipakai dan apa nama sistem tersebut?
Lanjutan isu birokrasi menurut pandangan M. Irfan Islamy (1998) dalam Mas’ud (2007) dan menurut pandangan kami harus diperbaiki citranya tanpa harus mengubah istilah birokrasi yang telah baik dirumuskan oleh para ahli yaitu :
 Birokrasi Dipenuhi oleh Kepentingan Politik
Posisi birokrasi makin kabur dengan maraknya kepentingan politik sehingga birokrasi bukan lagi sebagai alat penghubung antara rakyat dengan penguasa melainkan telah menjadi alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Bila birokrasi tidak memihak kepada penguasa maka jangan harap akan tetap bertahan pada posisi tersebut. Jadi yang paling utama untuk dibenahi adalah membersihkan birokrasi dari kepentingan politik. Sangat sulit untuk melakukannya namun bila dibiarkan maka birokrasi pemerintah akan semakin terpuruk dan rakyat tidak akan percaya lagi. Yang terjadi bila suatu organisasi tidak legitimate bukan tidak mungin organisasi tersebut akan bubar dan ditinggalkan masyarakatnya. Namun dalam konteks pemerintahan suatu Negara dengan kendali monopoli atas segala sesuatu mungkin jauh dari kata “bubar” tersebut.
 Lemahnya Proses Rekrutmen
Banyak sumberdaya manusia dalam birokrasi yang tidak profesional. Dengan adanya hubungan kekerabatan sangat sulit untuk menempatkan seseorang dalam tempat yang tepat. Kondisi ini diperparah dengan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS. Dengan tidak mengecilkan arti tenaga honorer namun kenyataannya pengangkatan tersebut bedasarkan belas kasihan dan tanpa melihat latar belakang pendidikan.
 Kaburnya Code of Conduct
Kaburnya kode etik aparat birokrasi (Code of Conduct) menyebabkan tidak tertibnya aparat birokrat. Para pegawai kurang kompetitif untuk suatu terobosan yang inovatif. Kurang kerja keras, kurang bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan kurang-kurang lainnya. Dengan demikian harus ada penekanan yang jelas tehadap masalah ini, bila TNI/Polri mampu melaksanakan kode etiknya kenapa para PNS tidak bisa.
 Ketidakadilan Politik Kesejahteraan Pegawai
Jika dalam organisasi TNI/Polri ada tunjangan di luar gaji yaitu uang lauk pauk, kenapa dalam tubuh PNS tidak ada? Mungkin inilah salah satu ketidakadilan dalam pola manajemen kesejahteraan PNS. Setiap kenaikan gaji PNS senantiasa diimbangi dengan kenaikan kebutuhan lainnya yang menyebabkan peningkatan gaji tersebut tidak memberikan nilai lebih. Dengan ketidakadilan itu akhirnya PNS kurang responsif terhadap pekerjaan.

Comments

Popular posts from this blog

GUBERNUR TINJAU OPERASI PASAR MINYAK GORENG DI LAMPUNG TIMUR

GILIRAN SRI JAYA DAN LEPANG TENGAH