MODERENISASI KEKERASAN


Kekerasan bukan suatu hal yang baru bagi kehidupan umat manusia. Telah banyak proses perebutan kekuasaan di zaman monarchi kuno dengan cara menyerang dan membantai para lawan-lawan yang dianggap berbahaya. Pembantaian suatu kaum oleh kaum lainnya didasarkan pada pertalian darah sampai dengan bayi yang baru dilahirkan jika dianggap berbahaya akan disingkirkan. Meningkat dizaman perang dunia I dan II, dengan kecanggihan peralatan tempur memungkinkan manusia saling hantam dalam kuantitas yang cukup besar untuk suatu tujuan tertentu.
Secara umum, perilaku kekerasan merupakan bentuk intimidasi terhadap fisik dan mental seseorang ataupun kelompok kepada individu maupun kelompok lainnya. Kekerasan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusi yang dapat berakibat kerugian fisik, materi bahkan yang lebih buruk lagi hilangnya nyawa seperti yang pernah terjadi di berbagai tempat di Indonesia.
Posisi bangsa Indonesia pun pernah terkotak-kotak dengan nuansa kedaerahan yang gampang dipecah oleh para penjajah. Cukup alot untuk menyatukan bangsa ini hingga perebutan kemerdekaan. Tentu masih ingat apa yang terjadi pada awal reformasi yang merupakan sejarah kelam dari proses perubahan paradigma kepemimpinan yang telah terkungkung sejak lama oleh suatu rezim kekuasaan. Berapa nyawa yang telah hilang, kerugian harta benda dan traumatis yang membekas terhadap para korban. Apa yang dialami bangsa Indonesia saat itu adalah bagian dari gejolak emosi yang berpuluh-puluh tahun telah dirasakan dan terpendam....


Sedikit melenceng dari demokrasi yang selalu di dengungkan dari awal reformasi yaitu tahapan yang kebablasan. Sehingga banyak pihak yang melencengkan arti demokrasi kearah aksi anarkis. Yang terjadi dalam masyarakat Indonesia setelah sepuluh tahun mengalami reformasi total di segala lini kehidupan makin menunjukkan masyarakat kita menjadi lebih liar dan sangat bebas mengekspresikan sikap tanpa batasan yang jelas. Teror bom di mana-mana, KDRT, mutilasi, dalam keluarga saling membunuh terkadang untuk hal-hal yang sepele.
Kekerasan telah menjadi trend sendiri di kalangan sebagian masyarakat Indonesia. Beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga, di lingkungan pendidikan, proses Pilkada, antar aparat, demonstrasi baik dilakukan mahasiswa maupun warga umum acapkali menimbulkan gejolak-gejolak yang sulit diselesaikan. Bila kita cermati berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi dalam tayangan-tayangan media, dengan tidak ada rasa malu dan terang-terangan mengekspresikan emosi seakan tersirat ada suatu kebanggaan bila telah berlaku demikian. Jadi tidak perlu kaget bila ada sekolah kedinasan yang terekspose media melakukan “cara kekerasan” dalam pembinaan disiplin peserta didiknya, sedangkan di tingkat Sekolah Dasar sampai dengan perguruan tinggi yang umumpun terang-terangan mengekspresikannya. Tawuran antar pelajar, mahasiswa bahkan antar umat bergama sudah sering menghiasi tayangan berita diberbagai media.
Kekerasan juga banyak digunakan oleh aparat dalam interogasi maupun mengeksekusi suatu permasalahan. Apa yang telah diberitakan tentang korban salah tangkap dan terus dilakukan persidangan yang jelas-jelas telah diketahui siapa pelakunya. Petugas menggunakan metode kekerasan untuk menjatuhkan mental sesorang yang dicurigai agar mengakui perbuatannya. Namun bila terjadi pada orang yang tidak sama sekali terlibat dalam suatu permasalahan? Itu merupakan tanda tanya besar yang harus kita cari jalan keluarnya. Lemahnya sistem yang diterapkan aparat (legal institution) menumbuhkan institusi baru (shadow institution ) yang berperan layaknya aparat dengan kemampuan pengamanan yang lebih responsif. Jangan heran ada beberapa kelompok premanisme terselubung berkedok pengamanan anggota perkumpulan yang melibatkan oknum-oknum aparat.
Baru-baru ini terjadi di Provinsi Jambi, seorang narapidana yang berusaha kabur dari Lembaga Pemasyarakatan. Usaha napi tersebut terbilang berhasil karena dapat menembus terali ruang tahanan sampai akhirnya tertangkap kembali. Luapan emosi para petugas Lembaga Pemasyarakatan tidak terbendung lagi yang ditumpahkan dengan kekerasan fisik seperti menendang dan memukuli napi tersebut. Hasilnya sangat tragis yang dirasakan napi hingga mukanya nyaris tidak dapat dikenali lagi karena memar akibat tindakan aparat. Secara kelembagaan mungkin tindakan cepat yang dilakukan petugas dalam menangkap kembali napi tersebut merupakan suatu prestasi yang membanggakan namun tindakan brutal tersebut apakah dapat dipertahankan. Secara teori peralihan dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan membawa dampak demokrasi proses pembinaan yang mengedepankan penghormatan dan penegakan hak asasi para narapidana serta demokratisasi pembinaan.
Menurut Jamil Salmi, beberapa bentuk kekerasan antra lain :
a. Kekerasan Langsung (direct violence)
Anggapan sebagian orang bahwa kekerasan merupakan tindakan seperti pembantaian, perang, tawuran dan sebagainya. Namun peristiwa tersebut merupakan konteks kekerasan dalam arti sempit. Dalam klasifikasi kekerasan langsung yaitu jenis kekerasan yang mengacu pada tindakan menyerang fisik atau psikologi seseorang secara langsung. Seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan, pengusiran secara paksa yang mengakibatkan trauma fisik maupun psikis. Tindakan tersebut sangat bertentangan dengan hak dasar manusia yaitu hak untuk hidup.
b. Kekerasan Tidak Langsung (indirect violence)
Kekerasan ini mengarah pada tindakan yang dapat membahayakan kehidupan manusia. Namun antara korban dengan pihak yang paling bertanggungjawab tidak terjadi suatu interaksi langsung. Kekerasan ini bisa dikategorikan sebagai kekerasan yang yang sangat kejam karena terjadi di dalam suatu sistem yang terkadang pelaku tidak menyadari bahwa tindakannya tersebut sangat merugikan orang lain. Seringkali kita mendengar kesalahan dalam perumusan kebijakan yang membawa malapetaka bagi masyarakat namun tidak dirasakan oleh pembuat kebijakan sehingga pembuat kebijakan tidak segara menyadari apa yang telah dirumuskannya. Memberikan BLBI yang berakibat hilangnya uang Negara yang semestinya dana tersebut dapat membantu program pengentasan kemiskinan namun akhrinya dikorup oleh segelintir orang yang dilindungi oleh suatu sistem.
c. Kekerasan Represif
Kekerasan ini tidak serta merta membahayakan kehidupan manusia namun tetap saja termasuk dalam pelanggaran berat. Kekerasan ini didasarkan pada pencabutan hak-hak sipil, politik mapun sosial. Hak sipil yaitu kebebasan dalam beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Hak politik yaitu mengarah pada tingkat partisipasi dalam demokrasi. Biasanya ada campur tangan pihak tertentu untuk melarang seseorang maupun kelompok dalam menentukan suatu parpol, suatu pilihan pimpinan perwakilannya sehingga menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman. Di era demokrasi sekarang ini banyak kejadian ini, seolah-olah memberikan kebebasan dalam menentukan pilihan namun kenyataannya lebih buruk dari era orde baru, sekelompok atau individu tetap mendapat tekanan dari suatu aliran politik.
d. Kekerasan Alienatif
Kekerasan jenis ini merupakan pencabutan hak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kekerasan refresif. Seseorang ataupun kelompok dilarang dalam mengekspresikan budaya dan intelektualnya. Akibatnya ada rasa ketidakpuasan dalam pemenuhan kepuasan kerja.

Alasan seseorang melakukan tindak kekerasan yaitu antara lain disebabkan oleh kondisi ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya sehingga masyarakat maupun individu rentan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Adanya perbedaan perlakuan yang menjurus kearah diskriminasi memberikan dampak negatif kepada pembentukan watak seseorang sebagai konsekuaensi ketidaknyamanan apa yang telah diterimanya. Lalu kurangnya akses golongan tertentu dalam sumber kekuasaan atau sumber daya yang memunculkan rasa ketidakadilan, rasialisme atau bahkan hanya untuk menunjukkan kekuatan yang dimilikinya. Dengan demikian sangat diperlukan untuk memahami posisi masing-,masing individu agar tercipta rasa keadilan untuk menghindari segala bentuk kekerasan.



Sumber Bacaan

Jeanie, Leatherman dkk ; Memutus Siklus Kekerasan ; alih bahasa, Muba Simanihuruk dan Subhilhar; 2004 ; Gajah Mada University Press ;
Plath, David W dkk ; Gerakan Melawan Penindasan ; Pustaka Kendi ; 2001 ; Yogyakarta
Salmi, Jamil ; Violence and Democratic Society ; alih bahasa, Agung Prihantoro, Pustaka Pelajar dan Komite Untuk Anti Kekerasan ; 2003 ; Yogyakarta

Comments

Popular posts from this blog

GUBERNUR TINJAU OPERASI PASAR MINYAK GORENG DI LAMPUNG TIMUR

GILIRAN SRI JAYA DAN LEPANG TENGAH