POTRET KELAM PEMUKIMAN VS TAMAN NASIONAL
Fenomena
kawasan hutan merupakan permasalahan turun-temurun yang dihadapi bangsa Indonesia. Campur tangan
pemerintah terkadang menimbulkan ketidakpuasan terhadap masyarakat di sekitar kawasan
hutan. Mulai dari penentuan batas-batas sampai dengan pemanfaatan hutan secara
luas sering menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara masyarakat dan
pemerintah. Konflik tersebut semakin nyata pasca reformasi yang memberikan
kebebasan terhadap semua individu untuk berpendapat. Selama kurun waktu orde
baru, masalah penetapan hutan dilakukan oleh pemerintah pusat. Kecil
kemungkinan bagi masyarakat di daerah untuk menolak hal-hal yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Undang-undang 1945 pasal 33 ayat (3)
mengamanatkan bahwa “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hutan yang merupakan bagian dari kekayaan alam harus dapat memberikan kemakuran
bagi masyarakat Indonesia dan khususnya bagi masyarakat yang bermukim di
sekitar hutan. Namun bila status hutan telah menjadi wilayah Taman Nasional
ataupun Cagar Alam, apa lagi yang diharapkan masyarakat untuk kemakmuran
hidupnya secara langsung dan nyata.
Selama ini masyarakat tidak mendapat kemakmuran apapun dari keberadaan sebuah
taman nasional maupun cagar alam. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh
ilmuwan lokal maupun asing di wilayah taman nasioanal tidak membawa dampak
kemakmuran apapun terhadap masyarakat lokal yang jauh lebih lama menempati
wilayah tersebut sebelum akhirnya ditetapkan sebagai kawasan taman nasional.
Pada akhirnya, masyarakatlah yang
dituding sebagai perusak suatu kawasan hutan. Dengan penebangan hutan dan
pembakaran lahan untuk kegiatan pertanian-perkebunan merusak wilayah tutupan
hutan. Sedangkan para pemegang HPH, yang secara bebas menebang dan
mengeksploitasi suatu wilayah hutan. Dan setelah kekayaan alamnya habis akan
ditinggalkan begitu saja. Bila kita mau menyikapi secara jujur, kemungkinan
masyarakat sekitar hutan untuk merusak lingkungannya sangat kecil sekali.
Tentunya rakyat dengan segenap kemampuan untuk menjaga kelestarian hutan guna mendapatkan manfaat yang lebih baik dari
yang telah dirasakan.
Berkaca pada permasalahan yang
dihadapi oleh Desa Bandar Agung Kecamatan Suoh Kabupaten Lampung Barat dari
sejak awal berdiri sampai dengan sekarang yang tidak kunjung selesai. Ada klaim
yang menyatakan bahwa wilayah Desa Bandar Agung yang terdiri dari empat belas
dusun, sebelas dusun diantaranya adalah wilayah kawasan Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan (TNBBS).
Secara prosedural, Desa Bandar Agung
telah layak untuk dijadikan sebuah desa. Bermula dari Desa Persiapan pada tahun 1997 dengan
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung Nomor 99 tahun 1997
tentang Pengesahan Pemecahan dan Pembentukan Desa Persiapan dalam Wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang, Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung
Selatan dan Kabupaten Daerah Tingkat II
Lampung Barat. tertanggal 28 Juli 1997.
Hanya dalam waktu satu tahun dengan
status desa persiapan, maka di tahun 1998 desa persiapan Bandar Agung menjadi
desa definitif dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri melalui Dirjen
Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah dengan Nomor Surat 475.1/4210/PUOD tanggal
11 Desember 1998.
Pada tahun 1999, Surat dari Menteri
Dalam Negeri ditindaklanjuti oleh Gubernur Lampung melalui Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung Nomor 8 tahun 1999 tentang Pengukuhan
9 (Sembilan) Desa Persiapan Hasil Pemecahan Menjadi Desa Definitif di Dalam Wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Selatan, Lampung Barat dan Tanggamus
tanggal 29 Januari 1999 ditandatangani oleh Gubernur Lampung yang saat itu
dijabat oleh Oemarsono.
Wilayah
yang di klaim sebagai kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan meliputi
sebelas dusun, antara lain : Campur Sari, Suka Maju, Palang Merah, Sidorejo,
Marga Jaya, Tekor Jaya, Bandar Teladan, Muara Aman, Payung Makmur, Muara Dua
dan Way Haru. Sedangkan yang diluar Taman Nasional hanya tiga dusun, yaitu :
Bandar Agung, Bandar Rejo dan Suka Agung.
Sedikit
menengok tentang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, pada awalnya ditetapkan
tahun 1935 sebagai Kawasan Suaka Marga Satwa, melalui Besluit Van der
Gouvernour-Generat Van Nederlandseh Indie No 48 stbl. 1935, dengan nama SS I
(Sumatra Selatan I). Selanjutnya, pada 1 April 1979 kawasan BBS (Bukit Barisan
Selatan) ini memperoleh setatus kawasan sebagai Kawasan Pelestarian Alam.Pada
tahun 1982 tepatnya, tanggal 14 Oktober 1982 status kawasan ini dikukuhkan
sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/
1982. Kemudian pada tahun 1997 melalui SK Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/
1997 tanggal 31 Maret 1997, dengan nama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
(TNBBS). Kawasan hutan TNBBS meliputi arela seluas + 356.800 Ha, membentang
dari ujung selatan Bagian Barat Propinsi Lampung dan memanjang hingga wilayah
Provinsi Bengkulu bagian selatan. Menurut Administrasi Pemerintahan kawasan ini
termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Barat dan
Kabupaten Kaur Bengkulu.
Bila
klaim Departemen Kehutanan melalui pihak Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
benar adanya, kenapa Departemen Dalam Negeri menyetujui pendefinitipan Desa
Bandar Agung, serta pembangunan infrastruktur
dalam kawasan desa kerap dilaksanakan selama kurun waktu tahun
1998-sekarang. Infrastruktur tersebut antara lain pembangunan sekolah-sekolah
negeri dan sarana peribadatan. Serta adanya wajib pajak yang harus dibayar oleh
masyarakat Desa Bandar Agung seolah menyatakan secara tegas bahwa desa tersebut
bukan daerah taman nasional. Perlu diketahui, bahwa Desa Bandar Agung merupakan
desa dengan wajib pajak terbesar di Kabupaten Lampung Barat. Pada akhirnya apa
yang akan diharapkan dari Kabupaten Lampung Barat yang 80% wilayahnya merupakan
taman nasional dan hutan register. Bagaimana Kabupaten tersebut mampu
mensejajarkan posisi dengan Kabupaten-kabupaten lainnya.
Pada
tahun 1998 juga telah dilaksanakan AMD (ABRI Masuk Desa) skala besar dibawah komando Dansatgas Letkol. Pandu Wibowo dan Wadansatgas Letkol.
Djajadi Ismanu. Pelaksanaan AMD tersebut secara langsung dibuka oleh Pangdam
II/Sriwijaya dan diikuti oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara
serta Kepolisian. Banyak pembangunan dalam pelaksanaan AMD tersebut, terutama
pembukaan badan jalan dari Ulu Semong ke Air Dingin sampai ke Roworejo melalui
Desa Bandar Agung. Bagaimana mungkin ada AMD (TMMD) di wilayah taman nasional.
Sedangkan permasalahan pengaspalan jalan dari Sekincau-Suoh terkatung-katung
lantaran ada beberapa kilometer jalan tersebut yang melalui wilayah taman
nasional.
Selain
itu, jauh sebelum desa tersebut terbentuk, Desa Bandar Agung merupakan wliayah
eks HPH oleh PT Tanjung Jati. Dan setelah HPH berakhir, masyarakat di sekitar
hutan memanfaatkan untuk perkebunan kopi, lada dan kakao. Apakah dengan adanya
HPH, hutan tersebut masih layak disebut taman nasional yang seharusnya
dipertahankan sesuai dengan bentuk aslinya guna penelitian dan kelestarian
flora dan fauna di dalamnya.
Dengan
permasalahan tersebut, seharusnya pemerintah lebih pro aktif guna kemakmuran
rakyat kecil. Paling tidak jika rakyat tersebut dapat mandiri, beban pemerintah
pun akan berkurang. Selama ini masyarakat di desa tersebut masih dihinggapi
perasaan was-was untuk mengambil hasil bumi yang mereka tanam. Terlebih bila
musim panen tiba, banyak sekali pungutan-pungutan atas nama pihak kehutanan
yang tidak jelas kemana larinya dana yang terkumpul dan atas dasar apa pungutan
dilakukan.
Di beberapa daerah yang benar-benar
wilayah Taman Nasional di Indonesia yaitu Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai di
Sulawesi Tenggara dan Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah telah
diberikan kepercayaan untuk mengelola sumber daya hutan. Masyarakat yang
tinggal di sekitar wilayah tersebut tetap menjaga kelestarian hutan, bukan
merusak hutan sebagaimana tudingan dari banyak pihak bahwa masyarakatlah yang senantiasa
merusak hutan. Sungguh sangat diskriminatif jika Bandar Agung yang bebas dari
Taman Nasional selalu disebut sebagai wilayah Taman Nasional.
Tentunya permasalahan yang dihadapi
warga Desa Bandar Agung merupakan potret yang terjadi dibanyak wilayah Indonesia. Kenapa pemerintah selama ini banyak
berpihak pada pengusaha-pengusaha besar, pada akhirnya akan membebani negara
dengan hutang-hutang yang tidak jelas. Seharusnya peristiwa krisis ditahun
1997-1998 menjadi cambuk pemerintah untuk lebih mengutamakan kepentingan
rakayat kecil dengan penguatan sektor-sektor informal.
Comments
Post a Comment