GRATIFIKASI ATAU BUKAN

Menarik apa yang diberitakan beberapa Surat Kabar Nasional dan beberapa Surat Kabar Lokal tentang pemberian sumbangan kepada calon Presiden dan Wakil Presiden tidak termasuk gratifikasi. Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi Giri Suprapdiono menyatakan, pemberian sumbangan kepada calon Presiden dan Wakil Presiden tidak termasuk gratifikasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Capres dan Cawapres boleh menerima sumbangan dari masyarakat.
"Sepanjang sumbangan tersebut dilakukan dalam kerangka Pilpres berdasarkan aturan UU 42/2008 dan peraturan KPU (Komisi Pemilihan Umum), hal itu tunduk ke sana," kata Giri melalui pesan singkat yang diterima Kompas.com (http://nasional.kompas.com/read/2014/05/30/2035253/KPK.Sumbangan.ke.Capres-Cawapres.Bukan.Gratifikasi.)
Dia mengomentari laporan sekelompok orang yang mengatasnamakan Progress 98 kepada KPK pagi tadi. Mereka menilai Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menerima gratifikasi dengan menerima sumbangan dari masyarakat. Menurut Progress 98, Jokowi dilarang menerima sumbangan dari masyarakat meskipun statusnya cuti sebagai Gubernur DKI Jakarta. Lebih lanjut menurut Giri, jika memperoleh izin cuti dan disahkan menjadi capres, maka sebagian tanggung jawab Jokowi sebagai penyelenggara negara telah lepas. Dengan demikian, aturan yang menjadi lex spesialis (diutamakan) terkait dengan status Jokowi adalah UU Pilpres yang memperbolehkan dia menerima sumbangan dari masyarakat.
Di sini penulis tidak akan membahas permasalahan pencapresan Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK namun lebih mengarah pada soal sumbangan bagi Pejabat Negara. Dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme diberikan batasan istilah “pejabat negara”. Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
            Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 28 huruf g mengatakan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan serta Pasal 54 ayat (1) Anggota DPRD dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa Kepala Daerah (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta Anggota DPRD) merupakan Pejabat Negara di samping ada Pejabat Negara lainnya di luar Kepala Daerah.
            Sekedar contoh jika pejabat negara akan melangsungkan pesta pernikahan  atau sejenisnya, maka tidak mustahil akan ada orang yang datang dengan memberikan hadiah/angpau sebagai ucapan selamat atas kegiatan tersebut. Hasil angpau tersebut wajib dilaporkan kepada KPK karena masuk kategori gratifikasi. Namun hal tersebut menjadi krusial ketika para Capres yang mendapat sumbangan dari masyarakat tidak disebut sebagai gratifikasi terlebih para capres dari kalangan pejabat Negara yang sedang cuti karena sebagian tanggung jawab sebagai penyelenggara negara telah lepas.
            Dengan adanya statement dari Direktur Gratifikasi KPK tersebut dapat menimbulkan pemahaman ganda tentang masalah gratifikasi  Pejabat Negara. Gratifikasi  penulis maksud disini adalah yang menimbulkan potensi suap dan dilarang oleh Peraturan Perundang-undangan. Bisa saja mereka mengajukan cuti sebelum melaksankan kegiatan pernikahan atau sejenisnya untuk menghindari tudingan gratifikasi yang dimaksud.

Comments

Popular posts from this blog

GUBERNUR TINJAU OPERASI PASAR MINYAK GORENG DI LAMPUNG TIMUR

GILIRAN SRI JAYA DAN LEPANG TENGAH

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA Nomor : 35 TAHUN 2003 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH KEHUTANAN DAN ANGKA KREDITNYA