"OUT OF CONTROL" PANGLIMA

Sikap intoleransi ditunjukkan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo pasca dugaan pelecehan yang dilakukan oleh Australia setelah seorang perwira TNI melaporkan adanya bahan pelatihan yang menghina ideologi bangsa. Adapun penyebab penghentian tersebut secara rinci penulis kutip dari http://news.okezone.com/read/2017/01/05/18/1584025/ini-penyebab-utama-indonesia-tangguhkan-kerjasama-militer-dengan-australia (09/01/2017, 22:06 WIB) sebagai berikut : 

Semua bermula ketika seorang instruktur bahasa Indonesia dari Kopassus mendengar bahan pengajaran di sebuah kelas yang menyebut-nyebut nama tokoh militer Tanah Air. Pengajar dari Australian Defence Forces (ADF) menyatakan bahwa mendiang petinggi militer Indonesia, Sarwo Edhie Wibowo adalah pelaku pembunuhan massal dalam Gerakan 30S/PKI. Ditambahkan ke dalam kisah itu, begitu bobroknya TNI, sehingga jika personelnya mabuk pun bisa sampai membunuh teman sendiri. 

 Penghinaan tidak berhenti di situ. Pada kesempatan lain, pelatih di sana juga memaksa para pesertanya untuk mempelajari kasus separatisme di Papua dan membuat esainya. Dikatakan materi itu penting karena berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. 

 Kasus lain yang diangkat adalah perilaku militer Indonesia pada era 1965. Tepatnya dalam invasi ke Timor Leste (dulu Timor Timur) atau Operasi Seroja, yang saat itu masih menjadi wilayah kedaulatan Indonesia. Kisah ini memang telah lama menjadi olok-olok para diplomat Australia. Ledekan itu pernah terungkap di media The Age pada Februari 2016. Terakhir, Kopassus yang sama melihat sebuah kertas dilaminasi yang bertuliskan PANCAGILA atau lima prinsip gila. Kata itu merupakan plesetan dari Pancasila, ideologi bangsa Indonesia yang berisikan lima asas, yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. 

Ditambahkan oleh Direktur Eksekutif Institut Studi Pertahanan, Keamanan dan Perdamaian Indonesia, Mufti Makarim kepada Fairfax Media, bahwa keempat alasan tersebut belum terkonfirmasi. Dia sendiri mendapatkannya dari pesan berantai yang beredar di kalangan militer melalui Whatsapp. 

Diluar konteks tersebut, penulis bukan untuk mengomentari apa yang sudah dbuat oleh Australia kepada Indonesia. Karena jika mau berhitung, sudah banyak dosa Australia kepada Indonesia. 

Apa yang sudah dibuat oleh Panglima TNI menurut hemat penulis sudah tepat. Untuk masalah ideologi tidak perlu menunggu kordinasi dalam penyelesaiannya (sekali lagi ini menurut pandangan saya yang awam). Rupanya sikap tegas tersebut berbanding terbalik dengan reaksi para petinggi di Indonesia. Majalah Reuters (http://www.reuters.com/article/us-indonesia-australia-military-gatot-idUSKBN14T0MC) menuliskan bahwa Presiden Joko Widodo menyebut Jenderal Gatot seperti sedikit di luar kontrol. Dalam artikel tersebut disebutkan juga “The senior government official said: "We suspect that Gatot is exploiting this incident for his own political agenda, his own political ambition."” Yang artinya kurang lebih “Pejabat senior pemerintah mengatakan: "Kami menduga bahwa Gatot mengeksploitasi insiden ini untuk agenda politik, ambisi politiknya sendiri."” Bila statemen Pejabat senior tersebut benar, bisa jadi Presiden mendapat masukan dari para pembantunya untuk menegur keputusan yang diambil oleh Panglima. 

Opini ini tidak berlebihan bila melihat sepak terjang Panglima belakangan ini yang kerap muncul dalam seminar-seminar dan media massa. Sebut saja pidato tentang perang proxy, Australia mencoba merekrut TNI untuk pelatihan-pelatihan dan yang paling santer meyebut Gatot masuk dalam kelompok Islam garis keras karena pernyataannya di demo bela Islam baru-baru ini. Ada semacam kekhawatiran dari para elit dengan kondisi yang tercipta. Bisa khawatir karena popularitas Gatot yang meningkat dan berhasil merebut simpati rakyat atau khawatir militer akan kembali berkuasa disemua sendi kehidupan seperti era Soeharto. 

Jika sikap yang diambil oleh Panglima murni karena jiwa nasionalismenya maka patut kita berikan dukungan dan pemerintah wajib membela prajuritnya tersebut. Terus terang, saya merasa was-was dengan keadaan bangsa seperti yang digambarkan oleh Jenderal Gatot. Banyak contoh nyata kemunduran bangsa ini mulai dari peredaran gelap narkoba, mentalitas aparat yang bobrok, para elit politik disibukkan dengan keuasaan, serbuan pekerja asing , rakyat mudah dipecah belah dengan berbagai isu dan lain-lain. Namun jika hanya untuk kepentingan popularitas sesaat maka pemerintah harus mengambil hati masyarakat dengan berbuat lebih dan memunculkan kerja nyatanya untuk menjawab bahwa pidato ilmiah yang diberikan Gatot itu kurang tepat. Dengan demikian Pemerintah tidak perlu repot-repot mematahkan cara pandang seseorang. Perlu diingat bahwa berpolitik menjadi hak seluruh warga. Bagaimana cara meraihnya yang perlu dilakukan dengan mengedepankan etika.

Comments

Popular posts from this blog

GUBERNUR TINJAU OPERASI PASAR MINYAK GORENG DI LAMPUNG TIMUR

GILIRAN SRI JAYA DAN LEPANG TENGAH

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA Nomor : 35 TAHUN 2003 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH KEHUTANAN DAN ANGKA KREDITNYA