PERASAAN IMAJINER ERA MODERN
“Ngeri”
melihat negeri kita tercinta akhir-akhir ini. Radikalisme muncul di mana-mana
yang dibungkus dengan nilai-nilai perjuangan golongan. Saling lapor melaporkan
kepada pihak penegak hukum merupakan hal yang lumrah. Salah bahasa atau salah
penyampaian bisa menjadi ancaman perpecahan.
Pemerintah
yang notabene adalah orang tua para rakyat juga dengan mudahnya menunjukkan
dagelan politik kekonyolan. Sebut saja para wakil rakyat yang ribut dan
berkelahi di ruang sidang karena “memperjuangkan” aspirasi. Berbeda dengan era
orde baru dengan nyanyian lagu “setuju” seolah satu suara. Era keterbukaan juga
banyak menelurkan komentar pedas dan narsis menjurus anarkhis. Objek yang
dikritik seakan alergi menerima komentar. Dan pada akhirnya para komentator
banyak yang tuding sebagai penghasut dengan ujaran kebencian.
Banyak
dari pemerintah ingin melanggengkan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak
beretika. Ada yang menggunakan politik
dinasti, ada juga cara menghancurkan rival politiknya dengan mencari celah
kesalahannya. Pemerintah juga banyak yang phobia dengan para rivalitas dan
pergerakan kaum progresif sehingga memberikan label ekstrimis. Ketakutan pemerintah
mirip-mirip dengan era penjajahan yang selalu memberi label teroris dan
pembangkang terhadap kritikus pemerintah.
Jika
di zaman sebelum kemerdekaan kita bersatu melawan penjajah dan jelas musuh kita
adalah bangsa yang menjajah. Kesulitan para pejuang dulu adalah perjuangan yang
sifatnya kedaerahan. Namun yang lebih sulit adalah menghadapi musuh-musuh yang
rupa, warna, ras dan sebagainya sama dengan bangsa kita alias “musuh dalam
selimut”. Itulah salah satu faktor yang menyebabkan bangsa Indonesia banyak
mengalami kegagalan dalam perang konvensional.
Tidak
banyak yang bisa digambarkan disini mengingat ada pasal ujaran kebencian yang sedang
gencar-gencarnya digalakkan. Terkadang
apa yang kita rasakan belum tentu bisa kita buktikan secara ilmiah sehingga
untuk berkomentarpun penulis khawatir. Mudah-mudahan permasalahan di atas hanya
ungkapan imajiner dan bukan kenyataan.
Comments
Post a Comment