DEMOKRASI DAN ERA PEMILIHAN LANGSUNG

Perubahan Otoriter Menuju Demokratis
Reformasi merupakan tonggak awal berubahnya rezim otoriter yang dikembangkan oleh pemerintah orde baru. Tidak ada kebebasan dalam mengungkapkan pendapat seperti yang kita jumpai saat ini. Semua senantiasa diawasi oleh tangan-tangan kekuasaan era paling sentralistik tersebut. Sehingga sering kita jumpai penangkapan-penangkapan terhadap para demonstran, mahasiswa yang meneriakkan kritik terhadap pemerintah yang kesemua itu dianggap pemerintah sebagai perilaku makar dan subversif.
Demokrasi bukan merupakan sistem pemerintahan yang terbaik dari yang baik. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik dari yang buruk. Hal ini merupakan bentuk implementasi dari demokrasi yang tentunya akan mengorbankan stabilisasi. Tidak seperti saat orde baru yang mengedepankan stabilisasi dengan mengorbankan demokrasi. Demokrasi hanya dibatasi oleh “selaput” tipis, karena diseberang demokrasi terdapat anarkis yang sangat rentan terhadap disintegrasi dan semangat persatuan.

Begitu banyak aksi-aksi anarkis yang dipertontonkan di hadapan publik seolah menggambarkan begitulah adanya demokrasi. Berapa jumlah kerugian akibat amuk masa dalam menuntut sesuatu hal. Dan yang membuat miris, sebagian besar aksi tersebut dilakukan oleh kaum terpelajar. Bukan itu saja, perbuatan anarkispun diumbar oleh para aktor-aktor politik dalam pencapaian tujuan masing-masing. Bila tujuan politik tidak tercapai maka aktor politik tersebut keluar dari organisasinya dan membentuk organisasi lain. Tampak jelas bahwa tidak ada kepentingan lebih besar daripada kepentingan kelompok tertentu. Membengkaknya jumlah partai politik diawal era reformasi menandakan bahwa selama ini aspirasi politik terkungkung dalam suasana kediktatoran suatu rezim.


Proses Pemilihan Langsung
Pemilihan Umum atau Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Pada pasal 1 Undang-undang Dasar 1945 dikatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan proses pemilihan pada era orde baru. Partai peserta pemilu hanya 2 dan satu golongan (walaupun menjalankan poitik praktis tidak disebut partai politik), rakyat hanya memilih partai dan golongan tersebut sedangkan yang menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen adalah partai itu sendiri. Sehingga para konstituen tidak tahu siapa yang akan menjadi wakilnya diparlemen.
Selanjutnya pemilihan presiden dilakukan oleh rakyat melalui mekanisme perwakilan konstituen. Kembali lagi rakyat tidak tahu siapa yang akan dipilih oleh para wakilnya. Mekanisme inilah yang menjadi topik hangat dalam perumusan sistem pemilihan pasca reformasi. Dengan tidak dikenalnya para wakil rakyat yang duduk di parlemen tentunya sangat sulit bagi rakyat untuk menyampaikan apa yang manjadi aspirasi mereka. Padahal pemilu merupakan hakikat dari sistem demokrasi, namun tidak tergambar ciri demokrasi dari sistem perwakilan tersebut.
Pasca amandemen Undang-undang Dasar 1945 terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam proses pemilihan. Rakyat dapat menentukan sendiri siapa yang akan duduk diparlemen dan siapa yang akan menjadi presiden. Namun sistem ini masih lemah karena nomor urut dalam daftar calon legeslatif sangat menentukan. Sehingga caleg dengan segala cara untuk mendapatkan nomor urut yang terdepan dalam pencalonannya. Sehingga untuk pemilu tahun 2009 yang akan datang, mekanisme tersebut direvisi, semua didasarkan pada suara terbanyak.

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Bukan hanya pemilihan umum (DPR, DPD dan DPRD) dan presiden yang dilaksanakan secara langsung. Pemilihan kepala daerah (pilkada) juga dilaksanakan secara langsung Masalah pemilihan kepala daerah turut menentukan tingkat demokratisasi di daerah tersebut. Semakin tinggi partisipasi aktif rakyat setempat dalam proses pemilihan kepala daerah, semakin tinggi pula tingkat demokratisasi di daerah tersebut. Hingga saat ini, partisipasi aktif rakyat daerah dalam proses pemilihan kepala daerah masih terbatas, ada semacam kejenuhan masyarakat dalam era pemilhan secara langsung. Banyak janji yang diumbar oleh semua golongan dalam mencapai misi politik.
Pada awalnya, pilkada langsung dijalankan dengan suatu keyakinan kuat baik dari para akademisi maupun politisi bahwa proyek besar dalam sistem demokratisasi di negeri ini harus disokong oleh demokratisasi di tingkat lokal. Peningkatan kualitas demokrasi di daerah, dianggap akan turut mendorong kemajuan demokratisasi di tingkat nasional. Pilkada langsung merupakan amanat dari Undang-undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (4), “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”
Pada perkembangannya, pilkada langsung yang telah dilakukan sejak 2005 di lebih dari 300 kabupaten.kota dan tak kurang dari 20 Provinsi di seluruh Indonesia justru menimbulkan sejumlah persoalan-persoalan baru. Konflik kekerasan, sengketa penghitungan suara, penyalahgunaan wewenang, politik uang dan oligarki partai kemudian tampil sebagai ciri utama dari banyak daerah yang telah melangsungkan pilkada. Ketidakpuasan dari calon yang dikalahkan adalah salah satu faktor penyumbang tingkat kekerasan akibat pilkada langsung.
Pilkada langsung dipercaya mampu memutus mata rantai para elit partai yang memiliki posisi sangat menentukan baik dalam tahap pencalonan maupun pemungutan suara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemenang akan ditentukan oleh besarnya ”jumlah setoran” dari kandidat kepala daerah kepada elit partai (pada tahap pencalonan) dan anggota DPRD (pada tahap pemungutan suara). Jika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, maka secara logika bahwa ”transaksi” akan langsung terjadi antara kandidat dan rakyat, dan menutup praktik-praktik “jual beli” tersebut. Jika mau dilakukan adalah bargaining kepada rakyat. Namun kenyataannya, pilkada langsung ternyata memunculkan sejumlah persoalan-persoalan yang sangat problematik.
Dibeberapa daerah, konflik terjadi karena adanya ketidaksinergisan pandangan dari suatu kelompok tertentu dalam partai. Ada kelompok yang menolak untuk mendukung kandidat yang telah ditetapkan secara resmi oleh partai. Sering juga terjadi kasus ketika kader partai membelot dari partainya untuk kemudian berpasangan dengan kandidat dari partai lain. Fenomena ini terjadi karena pada pilkada langsung, faktor popularitas individu menjadi lebih penting ketimbang faktor partai pendukung. Kader-kader partai yang memiliki popularitas yang tinggi di daerah pemilihannya, akan memiliki kepercayaan diri yang sangat besar untuk meraih kemenangan tanpa dukungan partainya.
Lemahnya Pengawasan DPRD
Berdasar Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD. Fungsi pengawasan DPRD terkesan mandul, sedangkan pengawasan oleh pemerintah pusat tidak mungkin berjalan efektif karena keterbatasan kompetensi dan jumlah personel. Itulah yang menyebabkan para kepala daerah menjadi raja-raja kecil di daerah. Jangan kan kepada pemerintah pusat, kepada Gubernur sekalipun merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat mereka tidak mau patuh.
Pertanggungjawaban kepala daerah langsung disampaikan kepada publik. Namun kesadaran, pengetahuan, dan jaringan masyarakat dalam mengontrol pemerintahan daerah sangat minim dan terbatas. Di daerah-daerah pedesaan dan pedalaman, masyarakat cenderung tidak bisa berpartisipasi secara aktif dalam mengontrol kebijakan kepala daerah serta implementasinya.
Dalam demokrasi, termasuk dalam pemilihan langsung kepala daerah, dibutuhkan peran dan fungsi masyarakat yang aktif untuk mengontrol kinerja kepala daerah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi superioritas dari kepala daerah. Lemahnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan salah satu penyebab kian banyaknya kepala daerah yang tersangkut pelanggaran hukum. Terlebih jika kepala daerah yang saat ini mencalonkan kembali (incumbent) pada pemilihan periode berikutnya. Sangat tidak jelas kegiatan yang dilakukannya dalam rangka tugas jabatannya ataupun sebagai bentuk mencari simpati serta dukungan publik.
Beberpa potensi konflik yang memungkinkan akibat pilkada langsung, antara lain :
1. Kampanye hitam/kampanye terselebung dengan menjatuhkan karakter dari salah satu calon kepada daerah;
2. Seperti yang telah disebutkan di atas, incumbent memiliki kemampuan segalanya dibanding dengan calon lain. Bisa dengan leluasa mengatur kegiatan yang berhubungan dengan rakyat serta memberikan bantuan melalui APBD yang tujuannya untuk “tebar pesona” dan menaikkan popularitas;
3. Money politic yang dilakukan pasangan calon maupun tim sukses;
4. Kecurangan dalam penghitungan suara.
Potensi konflik dalam Pilkada langsung jelas sangat menghambat dalam proses penguatan sistem demokrasi. Konflik tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional. Potensi konflik itu bukan karena ketidaksiapan masyarakat, tetapi lantaran tidak utuhnya penerapan sistem demokrasi lokal, terutama yang disebabkan kelemahan aturan main.
Memang untuk memulai sesuatu yang baru agak sulit dilakukan, tetapi kita semua berharap dengan adanya proses pemilu, pilpres dan pilkada secara langsung telah membawa Indonesia ke era demokrasi sebagaimana yang dicetuskan dalam semangat reformasi. Masih cukup muda umur demokrasi di Indonesia, berarti masih banyak kita harus belajar, bagaimana menghargai pendapat orang lain dan sanggup berbeda pendapat dengan mekanisme yang baik serta yang paling penting belajar untuk menerima kekalahan.
Peran serta masyarakat luas sangat dibutuhkan guna mengontrol segala kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Masyarakat juga harus berperan aktif dalam proses pemilihan untuk menetukan wakil-wakilnya agar hakikat dari demokrasi dapat tercapai.

Sumber Bacaan
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Abdullah, Rozali; Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemeilihan Kepala Daerah Secara Langsung; PT Raja Grafindo Persada; Jakarta; 2005
Asshiddiqie, Jimly ; Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945 ; UII Press; Yogyakarta ; 2004
Huda, Ni’matul ; Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi ; UII Press ; Yogyakarta ; 2007

Comments

Popular posts from this blog

GUBERNUR TINJAU OPERASI PASAR MINYAK GORENG DI LAMPUNG TIMUR

GILIRAN SRI JAYA DAN LEPANG TENGAH

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA Nomor : 35 TAHUN 2003 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH KEHUTANAN DAN ANGKA KREDITNYA