SEMANGAT KEPEMIMPINAN DALAM BIROKRASI


Kekuatan Kepemimpinan
Proses pemilihan Kepala Daerah secara langsung telah dilakoni oleh bangsa ini. Tercatat sejak 1 Juni 2005 sampai dengan 20 Agustus 2008, telah melangsungkan 414 Pilkada baik di tingkat Provinsi, Kabupaten maupun Kota. Proses tersebut menyisakan banyak sekali persoalan terutama pada perbedaan aspirasi antara pasangan yang memenangkan pemilihan mauapun yang dikalahkan. Selain itu, kemenanganpun akan membawa dampak yang cukup besar pada sistem birokrasi di daerah tersebut.
Tujuan utama dari pilkada langsung adalah untuk mencetak pimpinan daerah yang langsung membawa aspirasi masyarakat di daerah, sehingga keinginan tersebut dapat segera terealisasi. Pemimpin puncak tersebut harus dapat menjadi panutan bagi masyarakat maupun dalam sistem birokrasi yang merupakan saluran pelayanan bagi masyarakat. Setiap pimpinan puncak pasti akan membawa perubahan dalam birokrasi yang dipimpinnya.

Jangan berharap reformasi tata kepemerintahan bisa terjadi bila pimpinan puncak tidak memiliki visi dan keinginan kuat untuk suatu perubahan, artinya seorang pemimpin puncak harus mampu “mencetak” pemimpin-pemimpin pada level di bawahnya dalam jumlah yang cukup. (Hamengku Buwono X:2008)
Seorang pimpinan puncak harus dapat memberikan semangat kepada sistem birokrasi yang ada di bawahnya (energizing bureaucracy), agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor publik. Pada paparan singkat Fadel Muhammad dalam Seminar Nasional Dies XV MAP UGM dijelaskan bahwa ada tiga hal yang berkaitan dengan energizing bureaucracy. 1) bagaimana para manajer publik dapat memotivasi pegawai negeri sipil dan juga warga negara untuk melaksanakan proses publik dengan kecerdasan dan energi. 2) bagaimana mendapatkan orang yang tepat dalam pekerjaan, memberdayakan mereka agar bekerja secara efektif untuk mencapai tujuan organisasi. 3) bagaimana menghargai mereka atas kinerjanya yang baik.

Hubungan Birokrasi dan Politik
Birokrasi dan politik adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Masing-masing bagian memiliki kemajemukan dalam mengimlementasikan tugas dan wewenangnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Konsep birokrasi pertama kali dikemukakan oleh Max Weber yang menitik beratkan pada suatu sistem untuk menata organisasi besar agar dapat mencapai tingkat rasionalitas tertentu. Namun Weber tidak menyebut secara jelas kata birokrasi, pada akhirnya sistem birokrasi tersebut bila dikaitkan dengan pemerintahan maka pasti akan bertemu dengan politik. Sehingga tidak dapat dihindari kedua sistem ini akan saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam melakukan interaksi.
Menurut Prof. Miftah Thoha dijelaskan bahwa terdapat dua model hubungan birokrasi dengan politik. Model yang pertama seperti yang dikemukakan oleh “Hegel” yang kemudian disebut sebagai model birokrasi Hegelian. Hegel menerangkan bahwa dalam masyarakat negara terdapat 2 kelompok kepentingan, yaitu kelompok particular dan general. Kelompok kepentingan particular (panticular interests) merupakan kepentingan kelompok-kelompok tertentu dalam suatu masyarakat (interest groups). Kelompok ini banyak, tergantung seberapa jauh dinamika masyarakat tersebut dalam membentuk/mendirikan kelompoknya.
Kemudian kelompok kepentingan general yaitu kepentingan yang mewakili dari semua kelompok-kelompok particular tersebut. Posisi kelompok general tersebut berada di atas kelompok particular, karena wujud general merupakan penyatuan kekuatan antara kelompok particular yang ada. Kelompok ini bisa berwujud pemerintah atau negara yang bisa mengatasi semua kepentingan particular (lintas particular).
Dari dua kelompok kepentingan tersebut,posisi birokrasi menurut Hegel ada diantara kelompok particular dan general tersebut. Birokrasi mempunyai netralitas sebagai jembatan antara keduanya. Bila dihubungkan dengan teori Weberian, ada kedekatan prinsip antara birokrasi Hegelian dan Weberian. Weber menggambarkan bahwa birokrasi sebagai mesin, jadi birokrasi hanya melaksanakan apa yang telah ditetapkan oleh politik. Dengan demikian pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan pemicu dan penggerak dari sebuah mesin yang tidak mempunyai kepentingan pribadi.
Lalu yang kedua, birokrasi menurut Karl Marx (Marxisian). Marx tidak mengenal adanya kelompok kepentingan general. Yang ada hanya kelompok kepentingan particular dan kelompok particular yang memenangkan persaingan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan posisi birokrasi menempel pada kelompok particular yang memenangkan persaingan tersebut. Terlihat adanya ketidak netralan dalam teori Marxisian tersebut.

Model-model Birokrasi
Selain hubungan birokrasi dan politik yang disebutkan di atas, masih ada model birokrasi lainnya. Yaitu model yang selama ini dijalankan atas dasar pola hubungan atasan dan bawahan, pimpinan dan anggota atau penguasa dan pelaksana. Tentu saja hubungan seperti ini akan membawa birokrasi sebagai mesin pelaksana dari suatu kebijakan dari eksistensi pejabat politik. Birokrasi tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik. Model ini disebut Executive Ascedency, dalam model ini peran dan fungsi birokrasi sangat tergantung pada kekuasaan yang melekat pada jabatan politik pembuat kebijakan publik.(Thoha, 2004)
Lalu ada model Bureaucratic Sublation, yang mengedepankan keahlian dan profesionalisme. Birokrasi tidak dianggap sebagai bawahan dan kurang berperan namun menjadi kekuatan penyeimbang dari kekuasaan pejabat politik. Sehingga birokrasi dari suatu sistem sangat berperan bersama pejabat politik dalam proses perumusan suatu kebijakan. Bila digambarkan, posisi pejabat birokrasi sejajar berdasarkan kompetensi dengan pejabat politik.
Dari beberapa paparan model birokrasi di atas, idealnya, untuk di Indonesia menggunakan model hubungan Bureaucratic Sublation, sehingga adanya keseimbangan antara pemimpin politik dan sistem birokrasi.
Dengan asumsinya bahwa birokrasi suatu pemerintahan itu bukan hanya sebagai mesin pelaksana (weberian), melainkan sebagai suatu kekuatan yang bisa membuat kebijakan profesional yang tepisah dari kekuasan politik sehingga dalam beberapa hal kedudukannya seimbang (co equality with the executive).
Dengan demikian, seorang pimpinan akan membuat sistem birokrasi bertanggungjawab sepenuhnya atas segala sesuatu yang mereka lakukan. Atau dengan kata lain, pimpinan dipaksa untuk melepaskan kendali dan birokrasi dipaksa untuk belajar bertanggungjawab atas kinerjanya.

Sumber Bacaan
Pidato Hamengku Buwono X pada Seminar Nasional Dies XV MAP UGM tahun 2008
Makalah Dr. Fadel Muhammad pada Seminar Nasional Dies XV MAP UGM tahun 2008
Thoha Miftah ; Birokrasi dan Politik Indonesia ; 2003 ; PT Raja Grafindo Persada ; Jakarta
Perilaku Organisasi; 2007 ; PT Raja Grafindo Persada ; Jakarta
Ilmu Administrasi Publik Kontemporer; 2008 ; Kencana Prenada Media Group ; Jakarta

Comments

Popular posts from this blog

GUBERNUR TINJAU OPERASI PASAR MINYAK GORENG DI LAMPUNG TIMUR

GILIRAN SRI JAYA DAN LEPANG TENGAH

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA Nomor : 35 TAHUN 2003 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH KEHUTANAN DAN ANGKA KREDITNYA