POTRET KEMISKINAN DALAM LINGKARAN “TUAN TANAH”


Pola kepemilikan tanah pertama kali diperkenalkan jaman kolonial. Melalui VOC nya, Belanda mulai menerapkan sistem sewa terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh para tuan tanah. Dengan demikian para tuan tanah juga akan memberlakukan hal serupa kepada para petani. Petani pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor. Penduduk desa yang tidak memiliki lahan wajib bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pola sistem tanam tersebut dikenal oleh pemerintah Belanda dengan Cultuurstelsel. Sebenarnya sistem tersebut jika diartikan secara harfiah berarti sistem budi daya. Namun dengan pola budi daya yang memaksa untuk menanam komoditas tertentu, memberlakukan pajak yang tinggi dan wajib bekerja di lahan pemerintah menyebabkan sistem ini dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan sebutan tanam paksa.
Harus diakui bahwa Belanda menguasai sebagian besar wilayah Indonesia. Wilayah yang menjadi kekuasaan para Raja-raja akan dipecah belah agar Belanda mendapat kentungan dari perpecahan tersebut untuk memperluas wilayah. Tentunya masyarakat tetap menjadi “budak” pemilik tanah. Dengan kondisi tersebut, kehidupan masyarakat semakin mengkhawatirkan karena bekerja dengan sistem paksa tanpa hasil yang jelas. Masyarakat terus dibayangi dengan kesulitan dan kemiskinan.
Kondisi saat ini pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pola lama yang telah disebutkan tadi. Praktek penguasaan tanah secara besar-besaran oleh kelompok maupun pribadi banyak terjadi diberbagai wilayah. Tidak jarang dijumpai pola ini dibungkus  dengan dalih untuk investasi. Tanah semakin mahal karena terus diburu untuk dimiliki.  Masyarakat tetap hidup dalam kemiskinan terutama di daerah yang bermata pencarian yang mengandalkan lahan yaitu sektor pertanian. Banyak kasus kemiskinan terjadi  di sekitar penguasa tanah. Dengan kesulitan yang dihadapi para petani dalam pembiayaan selama menggarap tanah hingga masa panen, menyebabkan petani terpaksa menjual tanah garapannya. Tentu hal mustahil jika petani tersebut menjual kepada rekan sesama petani karena kesulitan itupun dirasakan sama oleh sebagian besar petani. Ada kekuatan modal besar yang mampu menggelontorkan dana untuk membeli lahan tersebut. Dengan pola ini menyebabkan tumbuh suburnya tuan tanah jilid baru.
Banyak diantara para petani yang menjual lahannya kepada para tuan tanah lalu menjadi petani penggarap dilahannya sendiri dengan sistem bagi hasil yang sering diistilahkan “paruhan” atau bekerja dengan sistem upahan. Jika ini terus dibiarkan maka makin banyak petani yang menjadi budak di tanah sendiri. Sehingga pada akhinya akan bermuara pada makin sulitnya untuk mengeluarkan petani dari zona kemisikinan.
Hal yang harus diwaspadai juga, dengan ketimpangan sosial yang semakin tinggi, akan banyak pemilik modal yang menguasai tanah-tanah dalam jumlah besar. sementara tanah tidak akan bertambah, manusia semakin berkembang pesat. Pola pembatasan kepemilikan tanah oleh pemerintah seakan tidak berdaya dengan akal-akalan dari pemilik tanah.
Ditahun 2010, BPS mencatat bahwa  terjadi ketimpangan yang sangat besar antara penduduk miskin di desa dan kota. Pada saat itu persentase penduduk miskin di kota sebesar 9,87 % sedangkan di desa sebesar 16,56 %. Persentase penduduk miskin kota juga mendapat tambahan dari desa, karena penduduk desa juga sudah semakin terdesak dengan kemiskinan dan minimnya fasilitas umum yang ada di desa. Pola urbanisasi mendorong penyebaran kantong-kantong kemisikinan.

Oleh karena itu perlu peran serta aparatur pemerintah dan masyarakat dalam mengawasi kepemilikan tanah dalam jumlah yang sangat besar agar masyarakat tidak menjadi “budak” di kampung sendiri. Pra anggapan bahwa masyarakat (baca : petani) hidup miskin disekitar para tuan tanah semakin mendekati kebenaran. Regulasi pemerintah dalam pembatasan kepemilikan lahan perlu diberlakukan secara ketat. Sehingga praktek curang dalam identitas kepemilikan tanah tidak terjadi.

Comments

Popular posts from this blog

GUBERNUR TINJAU OPERASI PASAR MINYAK GORENG DI LAMPUNG TIMUR

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA Nomor : 35 TAHUN 2003 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH KEHUTANAN DAN ANGKA KREDITNYA

GILIRAN SRI JAYA DAN LEPANG TENGAH